Jumat, 22 November 2024 08:47 WIB

Advetorial

Sulit Direstorasi, Ini Upaya DLH Kaltim Atasi Hutan Bakau yang Rusak

Redaktur: Rahmadani
| 747 views

Potret salah satu kawasan hutan Mangrove di Kaltim yang rusak. (Istimewa)

Samarinda, Afiliasi.net – Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Selain menjadi daerah penghasil komoditas industri seperti batu bara, minyak dan gas bumi, ada pula tanaman mangrove yang menyimpan karbon dan berpengaruh langsung pada intensitas perubahan iklim dunia.

Secara geografis, Kaltim memiliki lima kabupaten/kota dengan 43 kecamatan yang bersentuhan langsung dengan pesisir. Luasnya hingga 35.101,336 kilometer persegi. Dengan panjang garis pantai 3.592 kilometer, Kaltim merupakan daerah yang strategis karena berada di wilayah perairan Selat Makassar dan Laut Sulawesi.

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim mencatat, berdasarkan analisis Citra Landsat 8 tahun 2017-2018, Badan Informasi Geospasial (BIG) 2016, dan survei lapangan pada 2013-2018, Kaltim memiliki 27 jenis mangrove seluas kurang lebih 220.337 hektare atau 6 persen dari total keseluruhan mangrove di Indonesia. Tersebar di tujuh kabupaten/kota.

Kepala DLH Kaltim EA Rafiddin Rizal menjelaskan, ekosistem habitat mangrove secara kuantitas paling tinggi berada di Delta Berau, Delta Mahakam di Kukar, Teluk Apar di Paser, Teluk Adang di Paser, Teluk Sangkulirang di Kutim, serta Teluk Balikpapan. Daerah-daerah itu banyak menjadi habitat bekantan dan wilayah cagar alam.

“Lainnya tersebar sepanjang garis pantai Kaltim termasuk sepanjang pesisir Penajam dan pesisir Bontang,” kata Rizal, Sabtu, 30 Juli 2022.

Sementara untuk potensi sebaran dan simpanan karbon mangrove, Kaltim diperkirakan memiliki simpanan karbon sebesar 35,5 juta ton, dengan persentase Delta Berau (16 persen), Delta Mahakam (15 persen), Teluk Apar (13 persen), Teluk Adang (12 persen), Teluk Sangkulirang (7 persen), dan Teluk Balikpapan (6 persen), dan lainnya sepanjang garis pantai Kaltim (31 persen).

Persentase tersebut, sambung Rizal, tentu tak lepas dari kondisi kerusakan mangrove yang terjadi. Ditambah lagi permasalahan rehabilitasi untuk mengurangi kerusakan tersebut.

Ia memaparkan, DLH Kaltim menganalisis bahwa kerusakan hutan bakau di Benua Etam ini bisa terjadi karena pengambilan kayu secara berlebihan, hingga terjadinya sedimentasi lumpur yang menggeser perkembangan mangrove ke arah laut. Menjadikan ekosistem mangrove yang tumbuh akan berada di atas endapan lumpur yang labil.

“Hal itu menyebabkan hilangnya jajaran bakau karena tersapu arus dan gelombang laut yang kuat, yang turut berdampak pada turunnya produksi berbagai spesies ikan laut dan akhirnya berakibat pada penurunan kesejahteraan masyarakat nelayan,” terang Rizal.

Lebih lanjut, dijelaskan Rizal kerusakan mangrove juga akibat ketidaktaatan dan ketidaktahuan pelaku usaha atas kebijakan terhadap ekosistem mangrove yang berlaku di Kaltim. Sehingga, dalam melakukan kegiatan penyiapan lahan untuk pembangunan proyek menyebabkan terjadinya kerusakan pada ekosistem mangrove.

Rizal mengungkapkan, permasalahan rehabilitasi hutan bakau di Kaltim muncul karena permasalahan tenurial, yaitu adanya masalah tumpang tindih lahan atau lokasi penanaman yang berstatus tidak clear and clean.

Lalu ada pula permasalahan kebijakan dan sosial, yaitu adanya pola pikir para pemangku kepentingan yang berorientasi pada proyek, dan belum memiliki kesadaran untuk menanam mangrove serta masih rendahnya kesadaran terhadap pentingnya mangrove.

Kemudian ada permasalahan fisik, yaitu ketidaksesuaian tempat tumbuh untuk lokasi pesisir karena kurangnya pengetahuan para pemangku kepentingan terhadap cara menanam dan memelihara mangrove, dan diperlukan perlakuan khusus untuk lokasi tambak sebelum penanaman, baik dari segi hidrologi, habitat maupun pemilihan jenis yang tepat.

“Pemprov Kaltim sudah memiliki regulasi atau aturan dalam melestarikan keberadaan ekosistem mangrove,” sebutnya.

Regulasi yang dimaksud Rizal seperti Perda Kaltim No 1/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Perda Kaltim No 2/2020 tentang RPPLH; serta Perda Kaltim 2/2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Kaltim Tahun 2021–2041.

Di dalamnya mengatur tentang upaya pengendalian, meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kerusakan mangrove, serta mengatur pemeliharaan ekosistem mangrove melalui upaya konservasi, pencadangan dan pelestarian fungsi ekosistem mangrove.

Ada pula rencana adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim melalui rencana rehabilitasi ekosistem mangrove sebagai pelindung daratan dari abrasi. Hingga tujuan mewujudkan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil yang bersih dan aman, serta kebijakan tata kelola pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang partisipatif dan berkelanjutan 

“Gubernur juga sudah menerbitkan SK Gubernur Kaltim Nomor: 522.5/K.672/2020 tanggal 30 Desember 2020 tentang Penetapan Peta Indikatif Ekosistem Esensial Kaltim yang diharapkan menjadi rujukan bagi para pihak dalam mengambil kebijakan pembangunan melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Di dalamnya melingkupi atas empat lokasi indikatif KEE Mangrove dengan habitat bekantan seperti Delta Berau, Delta Mahakam, Teluk Sangkulirang, dan Teluk Balikpapan,” jelas Rizal. (Jr/adv/diskominfokaltim)


TOPIK BERITA TERKAIT: #hutan-mangrove #pemprov-kaltim 

Berita Terkait

IKLAN